Sahabat, belajarlah dari Matahari, yang senantiasa memancarkan cahayanya. Bulan yang menaungi dan memberikan keteduhan. Bintang yang senantiasa memberikan petunjuk. Air yang mengalir ke tempat rendah secara adil dan merata. Angin yang penuh kharisma dan menelusup ke mana-mana. Api yang lembut dan tanpa pandang bulu. Tanah yang tawadhu dan penuh istiqamah.
Tampak tiga deretan kursi kosong bagian depan, pada saat rapat paripurna (Dok. KOPEL)
Pidato di depan kursi kosong (Dok. KOPEL)
Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia Perwakilan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) melakukan pemantauan di DPRD DKI Jakarta. Pemantauan sebagai bentuk pengawasan dan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan proses pembangunan yang transparan, partisipatif dan akuntabel sebagai indicator utama dari penerapan tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance. Dengan melakukan pemantauan harian DPRD DKI Jakarta untuk melihat sejauhmana anggota DPRD melaksanakan tri fungsi DPRD yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Bahwa dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut sebagai representasi rakyat di daerah pemilihannya. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi legislasi, seorang anggota DPRD harus bisa memastikan bahwa peraturan daerah yang dibuat memberikan akses dan perlindungan terhadap masyarakat. Dalam fungsi anggaran, anggota DPRD harus memastikan bahwa APBD yang dibahas alokasinya lebih banyak untuk kepentingan dibandingkan dengan kepentingan pejabat. Dan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, anggota DPRD harus memastikan bahwa rakyat menikmati pelayanan public dengan baik.
Untuk itu KOPEL perlu menganalisis kehadiran anggota DPRD DKI Jakarta dalam mengikuti rapat-rapat di DPRD. Analisis untuk mengetahui partisipasi anggota DPRD dalam rapat-rapat, terutama rapat paripurna yang harus diikuti oleh semua anggota DPRD. Berdasarkan fungsi representasi diatas, ketidakhadiran seorang anggota DPRD, berarti mengabaikan ribuan kepentingan masyarakat yang diwakilinya.
Rapat yang dianalisis ini adalah rapat paripurna, karena rapat alat kelengkapan DPRD DKI Jakarta rata-rata bersifat tertutup, tidak bisa memantau, tidak bisa diakses daftar hadir, sehingga KOPEL menganalisis kehadiran rapat-rapat yang bersifat terbuka, yaitu rapat paripurna.
Berikut ini beberapa hasil pemantauan DPRD terhadap kehadiran anggota DPRD dalam rapat paripurna.
Rapat Paripurna Penyampaian Draft Ranperda tentang RPJMD DKI Jakarta Tahun 2013-2017 dan Ranperda tentang Pengelolaan Sampah oleh Pemerintah DKI Jakarta
Berdasarkan pantauan KOPEL yang dilaksanakan hari Selasa tanggal 5 Maret 2013 di ruang Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta ini hanya dihadiri 40 dari 94 orang anggota DPRD DKI Jakarta.
Rapat Paripurna Penyampaian Pandangan Fraksi atas Ranperda tentang RPJMD dan Ranperda tentang Pengelolaan sampah.
Pada hari Kamis, tanggal 7 Maret 2013, dilangsungkan Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta dengan agenda Penyampaian pandangan Fraksi DPRD tentang ranperda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Ranperda tentang Pengelolaan Sampah. Dari 94 orang anggota DPRD, yang tidak hadir pada saat rapat dibuka pada pukul 11.30 oleh Ir. Tri Wisaksana, M.Sc, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta anggota DPRD yang tidak hadir sebanyak 51 orang. Pada pukul 12.25, keluarlah 4 orang sehingga kursi kosong menjadi 55, pada pukul 12.30 meningkat menjadi 64 kursi kosong, pada pukul 13.00 kursi kosong bertambah menjadi 67.
Hal yang menarik bahwa deretan kursi di depan podium tempat para perwakilan Fraksi menyampaikan pandangan fraksinya delapan deretan kursi dari depan sampai belakang tidak ada yang terisi satupun, sehingga para perwakilan Fraksi yang menyampaikan pandangan Fraksi dengan penuh semangat dan berapi-api tepat didepan kedelapan deretan kursi kosong tersebut.
Rapat Paripurna tanggal 9 April 2013 dengan agenda Penyampaian Pidato Gubernur tentang Laporan Pertanggungjawaban Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013 dan Penjelasan Badan Legislasi Daerah terhadap 3 Ranperad Prakarsa DPRD yaitu Ranperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah, Ranperda tentang Perubahan Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah dan Ranperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Penyampaian Pidato Gubernur terhadap Ranperda tentang Kesejahteraan Sosial. Rapat paripurna ini dihadiri oleh 40 anggota DPRD dan 54 orang tidak hadir.
Rapat Paripurna tanggal 11 April 2013 dengan agenda Penyampaian Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap 3 Ranperda Prakarsa DPRD yaitu: Ranperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah, Ranperda tentang Perubahan Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah dan Ranperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame. Rapat Paripurna ini terlihat 63 kursi DPRD kosong, dan 31 kursi yang terisi, artinya hanya 31 orang yang mengikuti rapat paripurna.
ANALISIS KUORUM DAN PERILAKU MALAS ANGGOTA DPRD DKI JAKARTA
Berdasarkan hasil pemantauan diatas menunjukkan bahwa banyaknya anggota DPRD DKI Jakarta yang tidak menghadiri rapat-rapat paripurna, sehingga rapat-rapat paripurna tersebut tidak kourum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, pasal 322 menjelaskan kuorumnya rapat-rapat di DPRD sebagaimana dijelaskan berikut ini:
Setiap rapat DPRD provinsi dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur;
rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk memberhentikan pimpinan DPRD provinsi serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah;
rapat dihadiri oleh lebih dari ½ (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi untuk rapat paripurna DPRD provinsi selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
3) Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh badan musyawarah.
6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan fraksi.
Regulasi menunjukkan bahwa rapat paripurna yang dilakukan di DPRD DKI Jakarta sebagaimana hasil pemantauan KOPEL diatas tidak memenuhi pasal 322, ayat 2 (dua) huruf c diatas. Artinya bahwa rapat-rapat paripurna tersebut kuorum apabila dihadiri minimal 47 + 1 (empat puluh tujuh ditambah satu) dari anggota DPRD DKI Jakarta. Jika kurang dari itu artinya tidak kuorum.
Bagaimana jika tidak kuorum? Dalam ayat (4), (5), (6) dan (7) pasal 322 UU No. 27 tahun 2009 dengan tegas menyatakan bahwa apabila kuorum tidak terpenuhi maka rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu tidak lebih dari 1 (satu) jam, tapi apabila tidak terpenuhi maka pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh badan musyawarah. Apabila penundaan tidak terpenuhi, maka cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD Provinsi dan Pimpinan Fraksi.
Mungkin anggota DPRD DKI Jakarta tidak membaca peraturan ini, termasuk pimpinan DPRD atau sengaja melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini. Jelas, bahwa rapat yang dilakukan tidak kourum tapi masih melanjutkan rapat, tidak mengikuti prosedur sebagaimana yang diamanahkan dalam pasal 322 UU MD3 tersebut.
Dalam penentuan kuorum ini, bahkan dinamika forum paripurna dan mekanisme pelaksanaan rapat paripurna DPRD DKI Jakarta jauh ketinggalan dengan sebagian DPRD di daerah. Kalau di daerah, Sulawesi Selatan misalnya, kalau forum tidak kuorum, sebelum pelaksanaan rapat paripurna ketua DPRD meminta kepada Sekretaris DPRD (Sekwan) untuk meneliti kehadiran anggota DPRD untuk memastikan berapa yang hadir, berapa sakit, berapa yang izin dan berapa alpa serta diumumkan kepada rapat paripurna.
Berdasarkan penelitian daftar hadir, kalau kuorum rapat dilanjutkan oleh pimpinan, tapi kalau tidak, maka Pimpinan meminta pendapat dari peserta rapat paripurna apakah rapat ditunda selama 1 jam misalnya dan meminta kepada pimpinan Fraksi untuk menghadirkan anggota-anggota fraksinya agar forum rapat paripurna kuorum. Dan upaya-upaya yang dilakukan sesuai dengan tata tertib DPRD yang merupakan derivasi dari pasal 322 UU MD3 dan pasal 78 PP No. 16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tatib DPRD.
Hal ini, tidak pernah dilakukan di DPRD DKI Jakarta, menunjukkan bahwa tingkat pemahaman anggota DPRD terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kerja mereka sangat rendah jika dibandingkan dengan sebagian DPRD di daerah.
Karena tidak adanya penyampaian ke public, perihal ketidakhadiran anggota DPRD dalam rapat-rapat paripurna sehingga public bisa memastikan bahwa ketidakhadiran mereka karena malas.
Bahkan dalam setiap rapat paripurna di DPRD DKI, tampak anggota DPRD keluar masuk seenaknya, padahal dalam pasal 75 ayat (4) PP No. 16 thn 2010 menjelaskan bahwa:
“Anggota DPRD yang hadir apabila akan meninggalkan ruangan rapat, wajib memberitahukan kepada pimpinan rapat.”
Di dalam ayat ini mengajarkan dan mengarahkan anggota DPRD untuk bersikap dan beretika yang baik dalam pelaksanaan fungsinya sebagai orang yang terhormat.
TUNJANGAN PERUMAHAN DAN PERILAKU MALAS
Bahwa anggota DPRD dalam melaksanakan tugasnya sudah difasilitasi dengan uang rakyat agar mereka bisa serius dan menikmati pekerjaan mereka dalam melaksanakan ketiga fungsi DPRD. Fasilitas yang diberikan dengan menggunakan uang rakyat ini kurang lebih 14 tunjangan, diantaranya adalah tunjangan perumahan.
Tunjangan perumahan ini diberikan kepada DPRD DKI Jakarta untuk menyewa rumah yang bisa mengakses dengan mudah ke gedung DPRD, agar anggota DPRD rajin mengikuti rapat, tidak terlambat dan lain sebagainya.
Uang sewa rumah yang disediakan dari uang rakyat untuk anggota dan pimpinan DPRD agar rajin mengikuti rapat, sebesar 17,220,000,000.
Dengan uang sejumlah ini masing-masing anggota DPRD dapat menyewa rumah seharga 183 juta pertahun atau sekitar 15 juta per bulan yang diterima oleh anggota DPRD DKI secara lump sum, apakah melaksanakan fungsinya atau tidak, apakah hadir rapat atau tidak, memperjuangkan nasib rakyat atau tidak! Tidak peduli, setiap bulan terima uang sewa rumah.
Dengan uang sewa rumah sebesar itu, bukan jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan rakyat Jakarta yang berjumlah 9,5 juta tetapi 5 jutanya tidak punya rumah dan setiap bulan harus bergerilya mencari rumah kontrakan yang lebih murah, mengangkut barang berpindah-pindah tiap bulan, tiap tahun atau bahkan ada yang membangun gubuk-gubuk sederhana, tinggal dibawah kolong-kolong jembatan dengan kondisi yang sangat menyedihkan, yang kesemuanya adalah konstituen anggota DPRD yang menerima uang sewa rumah begitu besar tanpa memikirkan mereka yang selalu terpinggirkan dalam kebijakan untuk mengangkat harkat dan martabat mereka.
MAKSIMALISASI FUNGSI BADAN KEHORMATAN
Alat kelengkapan DPRD yang menjadi penjaga disiplin, penjaga etika dan moral di DPRD adalah Badan Kehormatan, di dalam pasal 57 PP no. 16 tahun 2010 menyebutkan tugas Badan kehormatan adalah :
memantau dan mengevaluasi disiplin dan/atau kepatuhan terhadap moral, kode etik, dan/atau peraturan tata tertib DPRD dalam rangka menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD.
meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap peraturan tata tertib dan/atau kode etik DPRD;
melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan DPRD, anggota DPRD, dan/atau masyarakat; dan
melaporkan keputusan Badan Kehormatan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada rapat paripurna DPRD.
Khusus terkait masalah kehadiran ini, badan kehormatan seharusnya memantau dan mengevaluasi rapat-rapat paripurna dan rapat-rapat alat kelengkapan DPRD yang menjadi tugas dan kewajiban dari setiap anggota DPRD.
Dari memantau dan mengevaluasi kehadiran anggota DPRD dalam rapat paripurna dan rapat alat kelengkapan untuk memastikan siapa-siapa yang anggota DPRD yang disiplin dalam mengikuti rapat, siapa yang malas, siapa yang enam kali berturut-turut tidak hadir rapat, baik rapat paripurna maupun rapat alat kelengkapan.
Hasil pantauan dan evaluasi ini kemudian diumumkan ke publik setiap selesai masa sidang. Karena merujuk pada pasal pasal 332 ayat (2) huruf d UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3, menjelaskan bahwa:
Anggota DPRD Provinsi diberhentikan antar waktu tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
Berdasarkan ayat ini maka Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta, perlu lebih jeli dalam melakukan evaluasi terhadap kehadiran anggota DPRD DKI Jakarta. Berhasilnya tidaknya Badan kehormatan tergantung pada integritas dan keberanian Badan Kehormatan. Jika Badan Kehormatan berani melakukannya, maka hal ini akan meningkatkan bukan hanya citra badan kehormatan tetapi juga mengangkat citra institusi DPRD DKI Jakarta.
Tapi jika Badan kehormatan tidak berani, tidak mau dan tidak mampu melakukannya, apalagi jika Badan Kehormatan sama dan sebangun dengan anggota DPRD yang lain, maka tidak bisa diharapkan untuk melakukan perbaikan di DPRD DKI Jakarta. Sehingga citra Badan Kehormatan dan institusi DPRD DKI Jakarta akan merosot. Dan berimplikasi pada, tidak dipilihnya kembali anggota DPRD yang ada sekarang ini pada Pemilu 2014 nanti.
REKOMENDASI
Berdasarkan hasil analisis diatas, KOPEL menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:
Kepada Pimpinan DPRD dan Pimpinan Komisi untuk taat pada peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan rapat-rapat terutama norma pasal 322 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan pasal 78 PP No. 16 Tahun 2010.
Kepada Sekretaris DPRD, agar melakukan penelitian kehadiran anggota DPRD DKI Jakarta, sebelum dimulainya rapat paripurna untuk memastikan berapa yang hadir, berapa yang izin dan berapa yang alpa
Kepada setiap Pimpinan Fraksi dan Partai politik di DKI Jakarta untuk berkoordinasi dengan anggota-anggota Fraksinya untuk rajin mengikuti rapat-rapat paripurna dan rapat alat kelengkapan yang menjadi kewajiban dan tanggungjawabnya untuk meningkatkan citra dan elektabilitas partai
Kepada Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta, melakukan evaluasi kehadiran anggota DPRD setiap akhir masa sidang, dan hasilnya diumumkan ke publik
Kepada Media massa dan masyarakat DKI Jakarta untuk lebih aktif melakukan pemantauan terhadap kinerja anggota DPRD DKI Jakarta yang membawa kepentingan rakyat.
Secara sunatullah, setiap orang suka akan bunga, apalagi bunga yang cantik dan wangi baunya. Tetapi kalau sudah layu, bunga tersebut akan dibuang ke tempat sampah. Begitulah bangsa dan negara di mana kita akan dihormati dan dihargai oleh pihak lain jika kita memiliki integritas yang tinggi. Baik dalam hal ideologi, sistem politik, ekonomi, hukum, sosial budaya maupun moral pejabat dan anggota masyarakatnya. Informasi dan data-data yang ada menunjukan bahwa bangsa dan negara Indonesia berada dalam krisis integritas yang serius. Salah satu indikasinya, Indonesia termasuk negara kedua terkorup di Asia[2]
BahwaKorupsi merupakanpenyakit kronisyang melandanegeri ini, telah meluluhlantakkansendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, menjadi kejadian yang luar biasa, sehingga dilawan juga dengan cara-cara yang luar biasa. Terutama pascareformasi semakin gencarnya pemerintah memberantas korupsi, ini dapat dibuktikan denganhadirnyaregulasi yang mengatur tentang pemberantasan korupsi ini, diantaranya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tastipikor) sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan sekalipun tetap diatur dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih danbebasdari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Dalam peraturan perundang-undangan ini,memberikan ancaman dan sanksiyang sangat tegas bagi penyelenggaranegara untuk menimbulkan efek jera bagi yang berani melakukannya.
Dua tahun terakhir,anggota DPRD dan mantan anggota DPRD menempati urutan pertama sebagai aktor terkorup di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari Corruption Report atau laporan kecendrungan korupsi tahun 2008 dan 2009 yang dilakukan oleh Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (Pukat FH UGM). Pukat FH UGM menyusun Trend Corruption Report (TCR) Tahun 2009 merupakan sebuah laporan berdasarkan pemantauan yang dilakukan selama satu tahun (2009) melalui pemberitaan media cetak maupun elektronik. Hasilnya, pada tahun 2009, pelaku atau aktor korupsi yang paling banyak berasal dari kalangan anggota/mantan anggota DPRD (27 orang). Posisi selanjutnya ditempati oleh kepala daerah/mantan kepala daerah (24 orang). Dan, tempat ketiga disandang oleh direktur utama perseroan terbatas (20 orang).Jika dibandingkan dengan TCR tahun 2008, tiga besar posisi bagi pelaku korupsi tidak mengalami pergeseran. Posisi pertama ditempati oleh anggota/mantan anggota DPRD dengan 89 orang. Berikutnya, ditempati oleh kepala daerah/mantan kepala daerah dengan 65 orang. Posisi ketiga menjadi hak swasta/rekanan dengan 40 orang[3].
Sementara itu masalah korupsi anggota DPRD dan mantan anggota DPRD ditingkat Sulawesi Selatan seakan tidak pernah sepi dari sorotan publik. Bahkan pada tanggal 21 Oktober 2008, setelah penetapan daftar calon sementara (DCS), Komite Pemantau Legislatif Sulawesimelaporkan 32 orang politisi calon legislatif ke Panwaslu Sulawesi Selatan. Para politisi yang dilaporkan mayoritas legislator yang dicalonkan kembali pada Pemilu 2009. Berdasarkan data yang ada pada Kopel Sulawesi, laporan calon legislatif yang bermasalah itu dijuluki”caleg cumi” (hitam) dipilah berdasarkan Kabupaten/Kota dan Provinsi. Dan secara khusus Bulukumba kebagian enam orang, termasuk Andi Muttamar Mattotorang, (Golkar) dan Juharta (PKPI) yang terlibat dalam kasus korupsi Bappeda Gate.
Bappeda Gate adalah kasus korupsi di Bappeda Bulukumba tahun 2003 yang merugikannegara Rp. 250 juta. Kasus inilah yang mengantarkan empat orang tokoh ke hotel Prodeo, masing-masing Ketua DPRD Bulukumba sekaligus Ketua DPD Partai Golkar, Andi Muttamar; Ketua Komisi E sekaligus ketua DPD PKPI, Juharta; dan dua orang mantan anggota DPRD Bulukumba masing-masing Arkam Bohari dan Wahyuddin Wolley. Keempatnyaterkait kasus di Bappeda tahun 2003 dan didakwa melakukan korupsi Rp. 250 juta.
Mereka ditahan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 626.K/PID.SUS/2008 pada tanggal 13 Agustus 2008, tetapi dieksekusi baru dilakukan pada tanggal 10 Desember 2009. Mereka dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman dua puluh tahun penjara, dan vonis hukuman yang dijalani 18 bulan.
KASUS BULUKUMBA, APA LAYAK BERHENTI?
Andi Muttamar Mattotorang dan Juharta sebagai anggota DPRD, apakah dengantersandungnya kasus ini mereka masih bisa kembali mendudukikursi DPRD sekaligus menjabat Ketua DPRD dan Ketua Komisi? Untuk itu maka penulis mencoba melihat menganalisisnya berdasarkan regulasi terkait:
1.Syarat Menjadi Anggota DPRD.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Pasal 50 huruf gTentang Persyaratan Bakal Calon AnggotaDPR,DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota menyatakan bahwa syaratmenjadi calon legislatifadalah Tidak pernah dijatuhipidana penjara berdasarkan putusan pengadilanyangmempunyai kekuatan hukum tetapkarena melakukan tindak pidanadengan ancaman lima tahun penjara atau lebih.
Hal ini dijelaskan lebih lanjut olehUndang-undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU No. 27/2009) tentang Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 383 ayat 2 huruf (f) dan dipertegas oleh Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 (PP 16/2010) yang menyatakan bahwa seseorang diberhentikan menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kotabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum.
Sementara keduanya dijatuhi pidana penjara berdasarkanputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidanadengan ancaman lima tahun penjara atau lebih. Sehingga secara otomatis keduanya sudah tidak lagi memenuhi syarat menjadi Anggota DPRD Bulukumba
2.Larangan dan Sanksi Bagi Anggota DPRD.
Dalam pasal 378 ayat 3 UU 27/2009 menjelaskan bahwa anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dilarangmenerima gratifikasi, yang dipertegas kembalioleh pasal 98ayat 3 PP 16/2010.
Larangan sebagaimana tersebut diatas telah dilanggar oleh Andi Muttamar Mattotorang dan Juharta. Yang dalamUU 27/2009 dan PP 16/2009 menjelaskan masing-masing dalam pasal 383 ayat 2 huruf (g) dan pasal 102 ayat 2 huruf huruf g. Seorang anggotaDPRD diberhentikan kalau melanggar pasal-pasal ini. Apa lagi dijelaskansecara khususdalam UU 27/2009 pasal 383 ayat 2 huruf c dan PP/16 2010 ayat 2 huruf cbahwa seorang anggota DPRD Kabupaten/Kota diberhentikan apabila dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara ataulebih. Sementara itu keduanya jelas-jelas melanggar laranganbagi anggota DPRD sebagaimana disebutkan sebelumnya.
3.Konsekuensi Dari Ketidakhadiran Dalam Rapat-Rapat di DPRD
Memang di DPRD tidak ada daftar hadir layaknya PNS, tetapi hitungan kehadiran seorang anggota DPRD adalah pada rapat-rapat. Karena keduanya ditahan mulai dari tanggal 10 Desember 2009 hingga mendapatkan kebebasan bersyarat pada pertengahan September 2010, berarti bahwa bahwa keduanyaberada dalam penjara kurang lebih 10 bulan. Dalam waktu 10 bulan tersebut, keduanya tidak bisa hadirdalam rapat-rapat di DPRD Kabupaten Bulukumba.
Padahal merujuk pada UU 27/2009pasal 383 ayat 2 huruf a dan d dan PP 16/2010 pasal 102ayat 2 huruf a dan d yang menyatakan bahwaseseorang diberhentikkankarenatidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggotaDPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun dan tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yangmenjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.
Pada daftar hadir DPRD Kabupaten Bulukumba,tanda tangan pada kolom tersedia bagi yang hadir, kalau tidak hadir tentunya ada alasan, bisa sakit, bisa izin, tugas luar atau tanpa keterangan (alpa). Jadi kedua orang yang tidak masuk selama sepuluh bulan, lebih dari tiga kali ketentuan konstitusi. Dari 12 kali Rapat Paripurna di DPRD Bulukumba, keduanya tidak mengikuti sebanyak 10 kali berturut-turut. Rapat Alat Kelengkapan yang lebih banyak lagi. Apakah ini ketidakhadiran yang sah menurut peraturan perundang-undangan?
Berdasarkan alasan-alasan ini, penulis memandang bahwaAndi Muttamar dan Juharta harus diganti (PAW),Apalagi prosesnya sudah berjalan baik di DPRD Bulukumba, KPU Bulukumba, Bupati Bulukumba, DPD Golkar Bulukumba, DPW Golkar Sulawesi Selatan dan bahkan Gubernur Sulawesi Selatan sendiri sudah mengeluarkan Surat Keputusan Peresmian Pemberhentian Tidak Dengan Hormat anggota dan Ketua DPRD Bulukumba Nomor 1737/VIII/Tahun 2010 tertanggal 9 Agustus 2010.
Kemudian belakangan keluar Penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Nomor: 45/G.TUN/2010/PTUN Mks yang menunda pelaksanaan Peresmian Pemberhentian Tidak Dengan Hormat anggota dan Ketua DPRD Bulukumba adalah keputusan yang bersifat sementara, belum ada keputusanyang mempunyai kekuatan hukum tetap. Lagi pula dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa adanya kekhawatiran dualisme kepemimpinan dan kedudukan Andi Muttamar sebagai Ketua Badan Anggaran Kabupaten Bulukumba yang sedang memproses APBD adalah alasan yang mengada-ada.
Karena terbukti APBD 2010 sudah ditetapkan tanpa kehadiran Andi Muttamar, sebagai Ketua DPRD dan Juharta sebagai Ketua Komisi D. Dengan kapasitaskader-kader Golkar di DPRD, masa tidak ada yang mampu menjadi Ketua DPRD. Dari sembilan orang yang ada di Komisi D, masa tidak ada yang mampu menjadi Ketua Komisi D.
Termasuk juga Surat permohonan pihak DPRD ditandatangani Wakil Ketua DPRD Husbiannas Alsi pada tanggal 16 Juli 2010, dengan nomor 318/ DPRD-BK/VII/2010, ke Lapas Taccorongyang meminta keduanya dipinjam pihak DPRD sebagai tenaga kerja narapidana lapas. Apakah dengan ketidakhadiran mereka berdua kemudian DPRD Bulukumba akan bubar? Demikian juga masalah persuratan ini, penulis sudah melakukan pengecekan dengan pihak Sekretaris DPRD, dan ternyata menurut Sekretaris DPRD,bahwaproses administrasi ini tidak lewat meja Sekretaris. Pada hal seluruh mekanismeorganisasi di DPRD Bulukumbatidak bisa tidak, harus lewat disposisi sekretaris DPRD.
Sebagaimana yang penulis jelaskan diatas bahwadengan adanyamasalah ini, berdasarkan rujukan regulasi, karena semuaorang berposisi sama di depan hukum equal before the law, dan menjunjungkonstitusisebagai panglima. Maka Andi Muttamar dan Juharta sudah tidaklayak menjadi anggota DPRD Bulukumba sekaligus sudah tidak bisa menjalankan fungsi DPRD, mendapatkan hak, melakukan kewajiban dan memiliki kewenangan sebagaimana anggota DPRD lainnya. Termasuk sudah tidak bisa lagi menggunakan fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk anggota DPRD atas nama anggota DPRD, baik itu berupa kendaraan, keuangan dan lain-lain.
Dalam pandangan penulis, dengan tidak mengurangi segala rasa hormat, bahwa jauh lebih terhormat jikamereka berdua dengan kebesaran jiwa dan lapang dada mempersilahkan para calon penggantinya menduduki kursi DPRD. Dengan cara ini setidak-tidaknyamenunjukkan bahwamereka tokoh yang berjiwa besar, punya integritas di Bulukumba, bahwabiar bukan dengan menjadi anggotaDPRD mereka masih tetap menjadi public figure yang senantiasa dihormati oleh masyarakat Bulukumba. Daripada mempertahanakankursitersebut yang kemudian direbut secara konstitusional akan mengurangi kredibilitasmereka sebagai tokoh yang menjadi panutan di bumi Panrita Lopi.
[1]Koordinator Komite Pemantau Legislati (Kopel) Sulawesi Wilayah Bulukumba
Dalam gelegar lautan ruhku kutatap wajahmu mutiara ombak gembira meliuk berirama mainkan arus dan gelombang melayangkan deburan
Kusimak ceracaumu mutiara ombak mengalir bersama teduhnya lautan mengalun dengan semilir bayu gemericik syahdu
Gelombang kehidupan tidak kau lawan tapi ajak berdamai
Taufan hayat tidak kau tantang tapi mainkan diplomasi
Diatas deburan ombak hembusan dingin angin laut dengan senyum terkulum tsunami dan elnino kau bujuk
Deras kotoran arus tidak kau muak melainkan mengusap membasuh gelombangmu bisikkan tausiah hingga bersih hati jiwa-ragaku
Kadang kau sedih mengurai kepedihan gelombang lantaran sampah, kotoran tidak tertampung samudramu; tersayat qalbumu, terlukai jiwamu tertunduk kepalamu tergoncang jazadmu menahan murka tapi tausiahmu kuwasiatkan kau ukir kembali senyum diwajahmu
Bila kau tiada laut menangis dan bersedih camar mengirimkan do’a keselamatan lumba-lumba bermunajat senantiasa tsunami memukul dan menghempas elnino meradang dan menjungkal demi keselamatanmu
Bila kau ada badai mengulum senyum terukir dipentas wajah berkat tausiahmu
Demi ketentraman ombakmu lautmu arusmu dengan tausiahmu agar bersih hati jiwa-ragaku
Panjangnya rentangan sayap Ketajaman mata laksana api Cakarnya setajam belati Paruhnya laksana pedang Bagi Elang, simbol keperkasaan dan penaklukan
Elang adalah sepupu Rajawali Cakarnya terasah dengan batu cadas Tidakkan tidur kecuali di lereng jurang Selalu bergelut badai dan topan Karena angkasa adalah kuasanya
Memang angkasa adalah kuasanya Tapi dihadapan Baikole Burung, lebih kecil dari merpati Elang sang penakluk, jadi pengecut Harus berlutut berpuluh-puluh kali Sebagai tanda takluk
Baikole, bertubuh kerdil Bernyali sangat tidak kecil Punya kehormatan dan harga diri Selalu memakai mahkota kemuliaan Senantiasa memberikan perlindungan
Bagi anak-anak ayam Terancam cengkraman Elang dan Gagak Baikole adalah Pahlawan
Tidak pernah ada dalam sejarah Baikole mengganggu kehormatan ayam Melainkan selalu melindungi Sepenuh jiwa sayang