Saturday, April 20, 2013

PIDATO DI DEPAN KURSI KOSONG; ANALISIS KUORUM DAN PRILAKU MALAS ANGGOTA DPRD DKI JAKARTA

PENDAHULUAN


Tampak tiga deretan kursi kosong bagian depan, pada saat rapat paripurna (Dok. KOPEL)
Pidato di depan kursi kosong (Dok. KOPEL)
Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia Perwakilan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) melakukan pemantauan di DPRD DKI Jakarta. Pemantauan sebagai bentuk pengawasan dan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan proses pembangunan yang transparan, partisipatif dan akuntabel sebagai indicator utama dari penerapan tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance. Dengan melakukan pemantauan harian DPRD DKI Jakarta untuk melihat sejauhmana anggota DPRD melaksanakan tri fungsi DPRD yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. 

Bahwa dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut sebagai representasi rakyat di daerah pemilihannya. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi legislasi, seorang anggota DPRD harus bisa memastikan bahwa peraturan daerah yang dibuat memberikan akses dan perlindungan terhadap masyarakat. Dalam fungsi anggaran, anggota DPRD harus memastikan bahwa APBD yang dibahas alokasinya lebih banyak untuk kepentingan dibandingkan dengan kepentingan pejabat. Dan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, anggota DPRD harus memastikan bahwa rakyat menikmati pelayanan public dengan baik. 

Untuk itu KOPEL perlu menganalisis kehadiran anggota DPRD DKI Jakarta dalam mengikuti rapat-rapat di DPRD. Analisis untuk mengetahui partisipasi anggota DPRD dalam rapat-rapat, terutama rapat paripurna yang harus diikuti oleh semua anggota DPRD. Berdasarkan fungsi representasi diatas, ketidakhadiran seorang anggota DPRD, berarti mengabaikan ribuan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Rapat yang dianalisis ini adalah rapat paripurna, karena rapat alat kelengkapan DPRD DKI Jakarta rata-rata bersifat tertutup, tidak bisa memantau, tidak bisa diakses daftar hadir, sehingga KOPEL menganalisis kehadiran rapat-rapat yang bersifat terbuka, yaitu rapat paripurna. 

Berikut ini beberapa hasil pemantauan DPRD terhadap kehadiran anggota DPRD dalam rapat paripurna.
  1. Rapat Paripurna Penyampaian Draft Ranperda tentang RPJMD DKI Jakarta Tahun 2013-2017 dan Ranperda tentang Pengelolaan Sampah oleh Pemerintah DKI Jakarta Berdasarkan pantauan KOPEL yang dilaksanakan hari Selasa tanggal 5 Maret 2013 di ruang Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta ini hanya dihadiri 40 dari 94 orang anggota DPRD DKI Jakarta. 
  2. Rapat Paripurna Penyampaian Pandangan Fraksi atas Ranperda tentang RPJMD dan Ranperda tentang Pengelolaan sampah. Pada hari Kamis, tanggal 7 Maret 2013, dilangsungkan Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta dengan agenda Penyampaian pandangan Fraksi DPRD tentang ranperda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Ranperda tentang Pengelolaan Sampah. Dari 94 orang anggota DPRD, yang tidak hadir pada saat rapat dibuka pada pukul 11.30 oleh Ir. Tri Wisaksana, M.Sc, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta anggota DPRD yang tidak hadir sebanyak 51 orang. Pada pukul 12.25, keluarlah 4 orang sehingga kursi kosong menjadi 55, pada pukul 12.30 meningkat menjadi 64 kursi kosong, pada pukul 13.00 kursi kosong bertambah menjadi 67. Hal yang menarik bahwa deretan kursi di depan podium tempat para perwakilan Fraksi menyampaikan pandangan fraksinya delapan deretan kursi dari depan sampai belakang tidak ada yang terisi satupun, sehingga para perwakilan Fraksi yang menyampaikan pandangan Fraksi dengan penuh semangat dan berapi-api tepat didepan kedelapan deretan kursi kosong tersebut.
  3. Rapat Paripurna tanggal 9 April 2013 dengan agenda Penyampaian Pidato Gubernur tentang Laporan Pertanggungjawaban Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013 dan Penjelasan Badan Legislasi Daerah terhadap 3 Ranperad Prakarsa DPRD yaitu Ranperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah, Ranperda tentang Perubahan Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah dan Ranperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Penyampaian Pidato Gubernur terhadap Ranperda tentang Kesejahteraan Sosial. Rapat paripurna ini dihadiri oleh 40 anggota DPRD dan 54 orang tidak hadir. 
  4. Rapat Paripurna tanggal 11 April 2013 dengan agenda Penyampaian Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap 3 Ranperda Prakarsa DPRD yaitu: Ranperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah, Ranperda tentang Perubahan Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah dan Ranperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame. Rapat Paripurna ini terlihat 63 kursi DPRD kosong, dan 31 kursi yang terisi, artinya hanya 31 orang yang mengikuti rapat paripurna. 

 ANALISIS KUORUM DAN PERILAKU MALAS ANGGOTA DPRD DKI JAKARTA 

 Berdasarkan hasil pemantauan diatas menunjukkan bahwa banyaknya anggota DPRD DKI Jakarta yang tidak menghadiri rapat-rapat paripurna, sehingga rapat-rapat paripurna tersebut tidak kourum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, pasal 322 menjelaskan kuorumnya rapat-rapat di DPRD sebagaimana dijelaskan berikut ini: 
  1. Setiap rapat DPRD provinsi dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
  2. Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila: 
  •  rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur; 
  • rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk memberhentikan pimpinan DPRD provinsi serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah; 
  •  rapat dihadiri oleh lebih dari ½ (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi untuk rapat paripurna DPRD provinsi selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. 3) Keputusan rapat dinyatakan sah apabila: 
    • disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; 
    • disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b; 
    • disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. 4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam. 5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh badan musyawarah. 6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan. 7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan fraksi. 
Regulasi menunjukkan bahwa rapat paripurna yang dilakukan di DPRD DKI Jakarta sebagaimana hasil pemantauan KOPEL diatas tidak memenuhi pasal 322, ayat 2 (dua) huruf c diatas. Artinya bahwa rapat-rapat paripurna tersebut kuorum apabila dihadiri minimal 47 + 1 (empat puluh tujuh ditambah satu) dari anggota DPRD DKI Jakarta. Jika kurang dari itu artinya tidak kuorum. 

Bagaimana jika tidak kuorum? Dalam ayat (4), (5), (6) dan (7) pasal 322 UU No. 27 tahun 2009 dengan tegas menyatakan bahwa apabila kuorum tidak terpenuhi maka rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu tidak lebih dari 1 (satu) jam, tapi apabila tidak terpenuhi maka pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh badan musyawarah. Apabila penundaan tidak terpenuhi, maka cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD Provinsi dan Pimpinan Fraksi. 

Mungkin anggota DPRD DKI Jakarta tidak membaca peraturan ini, termasuk pimpinan DPRD atau sengaja melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini. Jelas, bahwa rapat yang dilakukan tidak kourum tapi masih melanjutkan rapat, tidak mengikuti prosedur sebagaimana yang diamanahkan dalam pasal 322 UU MD3 tersebut. Dalam penentuan kuorum ini, bahkan dinamika forum paripurna dan mekanisme pelaksanaan rapat paripurna DPRD DKI Jakarta jauh ketinggalan dengan sebagian DPRD di daerah. Kalau di daerah, Sulawesi Selatan misalnya, kalau forum tidak kuorum, sebelum pelaksanaan rapat paripurna ketua DPRD meminta kepada Sekretaris DPRD (Sekwan) untuk meneliti kehadiran anggota DPRD untuk memastikan berapa yang hadir, berapa sakit, berapa yang izin dan berapa alpa serta diumumkan kepada rapat paripurna. 

Berdasarkan penelitian daftar hadir, kalau kuorum rapat dilanjutkan oleh pimpinan, tapi kalau tidak, maka Pimpinan meminta pendapat dari peserta rapat paripurna apakah rapat ditunda selama 1 jam misalnya dan meminta kepada pimpinan Fraksi untuk menghadirkan anggota-anggota fraksinya agar forum rapat paripurna kuorum. Dan upaya-upaya yang dilakukan sesuai dengan tata tertib DPRD yang merupakan derivasi dari pasal 322 UU MD3 dan pasal 78 PP No. 16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tatib DPRD.

Hal ini, tidak pernah dilakukan di DPRD DKI Jakarta, menunjukkan bahwa tingkat pemahaman anggota DPRD terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kerja mereka sangat rendah jika dibandingkan dengan sebagian DPRD di daerah. Karena tidak adanya penyampaian ke public, perihal ketidakhadiran anggota DPRD dalam rapat-rapat paripurna sehingga public bisa memastikan bahwa ketidakhadiran mereka karena malas

Bahkan dalam setiap rapat paripurna di DPRD DKI, tampak anggota DPRD keluar masuk seenaknya, padahal dalam pasal 75 ayat (4) PP No. 16 thn 2010 menjelaskan bahwa: “Anggota DPRD yang hadir apabila akan meninggalkan ruangan rapat, wajib memberitahukan kepada pimpinan rapat.” Di dalam ayat ini mengajarkan dan mengarahkan anggota DPRD untuk bersikap dan beretika yang baik dalam pelaksanaan fungsinya sebagai orang yang terhormat. 


 TUNJANGAN PERUMAHAN DAN PERILAKU MALAS 

Bahwa anggota DPRD dalam melaksanakan tugasnya sudah difasilitasi dengan uang rakyat agar mereka bisa serius dan menikmati pekerjaan mereka dalam melaksanakan ketiga fungsi DPRD. Fasilitas yang diberikan dengan menggunakan uang rakyat ini kurang lebih 14 tunjangan, diantaranya adalah tunjangan perumahan. 

Tunjangan perumahan ini diberikan kepada DPRD DKI Jakarta untuk menyewa rumah yang bisa mengakses dengan mudah ke gedung DPRD, agar anggota DPRD rajin mengikuti rapat, tidak terlambat dan lain sebagainya. Uang sewa rumah yang disediakan dari uang rakyat untuk anggota dan pimpinan DPRD agar rajin mengikuti rapat, sebesar 17,220,000,000. 

Dengan uang sejumlah ini masing-masing anggota DPRD dapat menyewa rumah seharga 183 juta pertahun atau sekitar 15 juta per bulan yang diterima oleh anggota DPRD DKI secara lump sum, apakah melaksanakan fungsinya atau tidak, apakah hadir rapat atau tidak, memperjuangkan nasib rakyat atau tidak! Tidak peduli, setiap bulan terima uang sewa rumah. 

Dengan uang sewa rumah sebesar itu, bukan jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan rakyat Jakarta yang berjumlah 9,5 juta tetapi 5 jutanya tidak punya rumah dan setiap bulan harus bergerilya mencari rumah kontrakan yang lebih murah, mengangkut barang berpindah-pindah tiap bulan, tiap tahun atau bahkan ada yang membangun gubuk-gubuk sederhana, tinggal dibawah kolong-kolong jembatan dengan kondisi yang sangat menyedihkan, yang kesemuanya adalah konstituen anggota DPRD yang menerima uang sewa rumah begitu besar tanpa memikirkan mereka yang selalu terpinggirkan dalam kebijakan untuk mengangkat harkat dan martabat mereka. 

MAKSIMALISASI FUNGSI BADAN KEHORMATAN 

Alat kelengkapan DPRD yang menjadi penjaga disiplin, penjaga etika dan moral di DPRD adalah Badan Kehormatan, di dalam pasal 57 PP no. 16 tahun 2010 menyebutkan tugas Badan kehormatan adalah : 
  1. memantau dan mengevaluasi disiplin dan/atau kepatuhan terhadap moral, kode etik, dan/atau peraturan tata tertib DPRD dalam rangka menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD. 
  2. meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap peraturan tata tertib dan/atau kode etik DPRD; 
  3. melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan DPRD, anggota DPRD, dan/atau masyarakat; dan 
  4. melaporkan keputusan Badan Kehormatan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada rapat paripurna DPRD. 
Khusus terkait masalah kehadiran ini, badan kehormatan seharusnya memantau dan mengevaluasi rapat-rapat paripurna dan rapat-rapat alat kelengkapan DPRD yang menjadi tugas dan kewajiban dari setiap anggota DPRD. Dari memantau dan mengevaluasi kehadiran anggota DPRD dalam rapat paripurna dan rapat alat kelengkapan untuk memastikan siapa-siapa yang anggota DPRD yang disiplin dalam mengikuti rapat, siapa yang malas, siapa yang enam kali berturut-turut tidak hadir rapat, baik rapat paripurna maupun rapat alat kelengkapan. 

Hasil pantauan dan evaluasi ini kemudian diumumkan ke publik setiap selesai masa sidang. Karena merujuk pada pasal pasal 332 ayat (2) huruf d UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3, menjelaskan bahwa: Anggota DPRD Provinsi diberhentikan antar waktu tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; 

Berdasarkan ayat ini maka Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta, perlu lebih jeli dalam melakukan evaluasi terhadap kehadiran anggota DPRD DKI Jakarta. Berhasilnya tidaknya Badan kehormatan tergantung pada integritas dan keberanian Badan Kehormatan. Jika Badan Kehormatan berani melakukannya, maka hal ini akan meningkatkan bukan hanya citra badan kehormatan tetapi juga mengangkat citra institusi DPRD DKI Jakarta. 

Tapi jika Badan kehormatan tidak berani, tidak mau dan tidak mampu melakukannya, apalagi jika Badan Kehormatan sama dan sebangun dengan anggota DPRD yang lain, maka tidak bisa diharapkan untuk melakukan perbaikan di DPRD DKI Jakarta. Sehingga citra Badan Kehormatan dan institusi DPRD DKI Jakarta akan merosot. Dan berimplikasi pada, tidak dipilihnya kembali anggota DPRD yang ada sekarang ini pada Pemilu 2014 nanti. 


REKOMENDASI 

Berdasarkan hasil analisis diatas, KOPEL menyampaikan rekomendasi sebagai berikut: 
  1. Kepada Pimpinan DPRD dan Pimpinan Komisi untuk taat pada peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan rapat-rapat terutama norma pasal 322 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan pasal 78 PP No. 16 Tahun 2010. 
  2. Kepada Sekretaris DPRD, agar melakukan penelitian kehadiran anggota DPRD DKI Jakarta, sebelum dimulainya rapat paripurna untuk memastikan berapa yang hadir, berapa yang izin dan berapa yang alpa 
  3. Kepada setiap Pimpinan Fraksi dan Partai politik di DKI Jakarta untuk berkoordinasi dengan anggota-anggota Fraksinya untuk rajin mengikuti rapat-rapat paripurna dan rapat alat kelengkapan yang menjadi kewajiban dan tanggungjawabnya untuk meningkatkan citra dan elektabilitas partai 
  4. Kepada Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta, melakukan evaluasi kehadiran anggota DPRD setiap akhir masa sidang, dan hasilnya diumumkan ke publik 
  5. Kepada Media massa dan masyarakat DKI Jakarta untuk lebih aktif melakukan pemantauan terhadap kinerja anggota DPRD DKI Jakarta yang membawa kepentingan rakyat. 

                                             Jakarta, 15 April 2013 

                                             KOPEL INDONESIA 
                                             PERWAKILAN JABODETABEK 



                                             MADJID BATI 
                                             Direktur

No comments: