Friday, October 1, 2010

Korupsi dan Pemberhentian Anggota DPRD

Madjid Bati[1]

Secara sunatullah, setiap orang suka akan bunga, apalagi bunga yang cantik dan wangi baunya. Tetapi kalau sudah layu, bunga tersebut akan dibuang ke tempat sampah. Begitulah bangsa dan negara di mana kita akan dihormati dan dihargai oleh pihak lain jika kita memiliki integritas yang tinggi. Baik dalam hal ideologi, sistem politik, ekonomi, hukum, sosial budaya maupun moral pejabat dan anggota masyarakatnya. Informasi dan data-data yang ada menunjukan bahwa bangsa dan negara Indonesia berada dalam krisis integritas yang serius. Salah satu indikasinya, Indonesia termasuk negara kedua terkorup di Asia[2]

Bahwa Korupsi merupakan penyakit kronis yang melanda negeri ini, telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, menjadi kejadian yang luar biasa, sehingga dilawan juga dengan cara-cara yang luar biasa. Terutama pasca reformasi semakin gencarnya pemerintah memberantas korupsi, ini dapat dibuktikan dengan hadirnya regulasi yang mengatur tentang pemberantasan korupsi ini, diantaranya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tastipikor) sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan sekalipun tetap diatur dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Dalam peraturan perundang-undangan ini, memberikan ancaman dan sanksi yang sangat tegas bagi penyelenggara negara untuk menimbulkan efek jera bagi yang berani melakukannya.


Dua tahun terakhir, anggota DPRD dan mantan anggota DPRD menempati urutan pertama sebagai aktor terkorup di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari Corruption Report atau laporan kecendrungan korupsi tahun 2008 dan 2009 yang dilakukan oleh Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (Pukat FH UGM). Pukat FH UGM menyusun Trend Corruption Report (TCR) Tahun 2009 merupakan sebuah laporan berdasarkan pemantauan yang dilakukan selama satu tahun (2009) melalui pemberitaan media cetak maupun elektronik. Hasilnya, pada tahun 2009, pelaku atau aktor korupsi yang paling banyak berasal dari kalangan anggota/mantan anggota DPRD (27 orang). Posisi selanjutnya ditempati oleh kepala daerah/mantan kepala daerah (24 orang). Dan, tempat ketiga disandang oleh direktur utama perseroan terbatas (20 orang). Jika dibandingkan dengan TCR tahun 2008, tiga besar posisi bagi pelaku korupsi tidak mengalami pergeseran. Posisi pertama ditempati oleh anggota/mantan anggota DPRD dengan 89 orang. Berikutnya, ditempati oleh kepala daerah/mantan kepala daerah dengan 65 orang. Posisi ketiga menjadi hak swasta/rekanan dengan 40 orang[3].


Sementara itu masalah korupsi anggota DPRD dan mantan anggota DPRD ditingkat Sulawesi Selatan seakan tidak pernah sepi dari sorotan publik. Bahkan pada tanggal 21 Oktober 2008, setelah penetapan daftar calon sementara (DCS), Komite Pemantau Legislatif Sulawesi melaporkan 32 orang politisi calon legislatif ke Panwaslu Sulawesi Selatan. Para politisi yang dilaporkan mayoritas legislator yang dicalonkan kembali pada Pemilu 2009. Berdasarkan data yang ada pada Kopel Sulawesi, laporan calon legislatif yang bermasalah itu dijuluki”caleg cumi” (hitam) dipilah berdasarkan Kabupaten/Kota dan Provinsi. Dan secara khusus Bulukumba kebagian enam orang, termasuk Andi Muttamar Mattotorang, (Golkar) dan Juharta (PKPI) yang terlibat dalam kasus korupsi Bappeda Gate.


Bappeda Gate adalah kasus korupsi di Bappeda Bulukumba tahun 2003 yang merugikan negara Rp. 250 juta. Kasus inilah yang mengantarkan empat orang tokoh ke hotel Prodeo, masing-masing Ketua DPRD Bulukumba sekaligus Ketua DPD Partai Golkar, Andi Muttamar; Ketua Komisi E sekaligus ketua DPD PKPI, Juharta; dan dua orang mantan anggota DPRD Bulukumba masing-masing Arkam Bohari dan Wahyuddin Wolley. Keempatnya terkait kasus di Bappeda tahun 2003 dan didakwa melakukan korupsi Rp. 250 juta.

Mereka ditahan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 626.K/PID.SUS/2008 pada tanggal 13 Agustus 2008, tetapi dieksekusi baru dilakukan pada tanggal 10 Desember 2009. Mereka dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman dua puluh tahun penjara, dan vonis hukuman yang dijalani 18 bulan.


KASUS BULUKUMBA, APA LAYAK BERHENTI?

Andi Muttamar Mattotorang dan Juharta sebagai anggota DPRD, apakah dengan tersandungnya kasus ini mereka masih bisa kembali menduduki kursi DPRD sekaligus menjabat Ketua DPRD dan Ketua Komisi? Untuk itu maka penulis mencoba melihat menganalisisnya berdasarkan regulasi terkait:

1. Syarat Menjadi Anggota DPRD.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Pasal 50 huruf g Tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota menyatakan bahwa syarat menjadi calon legislatif adalah Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman lima tahun penjara atau lebih.


Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU No. 27/2009) tentang Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 383 ayat 2 huruf (f) dan dipertegas oleh Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 (PP 16/2010) yang menyatakan bahwa seseorang diberhentikan menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota bila tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum.


Sementara keduanya dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman lima tahun penjara atau lebih. Sehingga secara otomatis keduanya sudah tidak lagi memenuhi syarat menjadi Anggota DPRD Bulukumba


2. Larangan dan Sanksi Bagi Anggota DPRD.

Dalam pasal 378 ayat 3 UU 27/2009 menjelaskan bahwa anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dilarang menerima gratifikasi, yang dipertegas kembali oleh pasal 98 ayat 3 PP 16/2010.


Larangan sebagaimana tersebut diatas telah dilanggar oleh Andi Muttamar Mattotorang dan Juharta. Yang dalam UU 27/2009 dan PP 16/2009 menjelaskan masing-masing dalam pasal 383 ayat 2 huruf (g) dan pasal 102 ayat 2 huruf huruf g. Seorang anggota DPRD diberhentikan kalau melanggar pasal-pasal ini. Apa lagi dijelaskan secara khusus dalam UU 27/2009 pasal 383 ayat 2 huruf c dan PP/16 2010 ayat 2 huruf c bahwa seorang anggota DPRD Kabupaten/Kota diberhentikan apabila dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara atau lebih. Sementara itu keduanya jelas-jelas melanggar larangan bagi anggota DPRD sebagaimana disebutkan sebelumnya.


3. Konsekuensi Dari Ketidakhadiran Dalam Rapat-Rapat di DPRD

Memang di DPRD tidak ada daftar hadir layaknya PNS, tetapi hitungan kehadiran seorang anggota DPRD adalah pada rapat-rapat. Karena keduanya ditahan mulai dari tanggal 10 Desember 2009 hingga mendapatkan kebebasan bersyarat pada pertengahan September 2010, berarti bahwa bahwa keduanya berada dalam penjara kurang lebih 10 bulan. Dalam waktu 10 bulan tersebut, keduanya tidak bisa hadir dalam rapat-rapat di DPRD Kabupaten Bulukumba.


Padahal merujuk pada UU 27/2009 pasal 383 ayat 2 huruf a dan d dan PP 16/2010 pasal 102 ayat 2 huruf a dan d yang menyatakan bahwa seseorang diberhentikkan karena tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun dan tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.


Pada daftar hadir DPRD Kabupaten Bulukumba, tanda tangan pada kolom tersedia bagi yang hadir, kalau tidak hadir tentunya ada alasan, bisa sakit, bisa izin, tugas luar atau tanpa keterangan (alpa). Jadi kedua orang yang tidak masuk selama sepuluh bulan, lebih dari tiga kali ketentuan konstitusi. Dari 12 kali Rapat Paripurna di DPRD Bulukumba, keduanya tidak mengikuti sebanyak 10 kali berturut-turut. Rapat Alat Kelengkapan yang lebih banyak lagi. Apakah ini ketidakhadiran yang sah menurut peraturan perundang-undangan?


Berdasarkan alasan-alasan ini, penulis memandang bahwa Andi Muttamar dan Juharta harus diganti (PAW), Apalagi prosesnya sudah berjalan baik di DPRD Bulukumba, KPU Bulukumba, Bupati Bulukumba, DPD Golkar Bulukumba, DPW Golkar Sulawesi Selatan dan bahkan Gubernur Sulawesi Selatan sendiri sudah mengeluarkan Surat Keputusan Peresmian Pemberhentian Tidak Dengan Hormat anggota dan Ketua DPRD Bulukumba Nomor 1737/VIII/Tahun 2010 tertanggal 9 Agustus 2010.


Kemudian belakangan keluar Penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Nomor: 45/G.TUN/2010/PTUN Mks yang menunda pelaksanaan Peresmian Pemberhentian Tidak Dengan Hormat anggota dan Ketua DPRD Bulukumba adalah keputusan yang bersifat sementara, belum ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Lagi pula dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa adanya kekhawatiran dualisme kepemimpinan dan kedudukan Andi Muttamar sebagai Ketua Badan Anggaran Kabupaten Bulukumba yang sedang memproses APBD adalah alasan yang mengada-ada.


Karena terbukti APBD 2010 sudah ditetapkan tanpa kehadiran Andi Muttamar, sebagai Ketua DPRD dan Juharta sebagai Ketua Komisi D. Dengan kapasitas kader-kader Golkar di DPRD, masa tidak ada yang mampu menjadi Ketua DPRD. Dari sembilan orang yang ada di Komisi D, masa tidak ada yang mampu menjadi Ketua Komisi D.


Termasuk juga Surat permohonan pihak DPRD ditandatangani Wakil Ketua DPRD Husbiannas Alsi pada tanggal 16 Juli 2010, dengan nomor 318/ DPRD-BK/VII/2010, ke Lapas Taccorong yang meminta keduanya dipinjam pihak DPRD sebagai tenaga kerja narapidana lapas. Apakah dengan ketidakhadiran mereka berdua kemudian DPRD Bulukumba akan bubar? Demikian juga masalah persuratan ini, penulis sudah melakukan pengecekan dengan pihak Sekretaris DPRD, dan ternyata menurut Sekretaris DPRD, bahwa proses administrasi ini tidak lewat meja Sekretaris. Pada hal seluruh mekanisme organisasi di DPRD Bulukumba tidak bisa tidak, harus lewat disposisi sekretaris DPRD.


Sebagaimana yang penulis jelaskan diatas bahwa dengan adanya masalah ini, berdasarkan rujukan regulasi, karena semua orang berposisi sama di depan hukum equal before the law, dan menjunjung konstitusi sebagai panglima. Maka Andi Muttamar dan Juharta sudah tidak layak menjadi anggota DPRD Bulukumba sekaligus sudah tidak bisa menjalankan fungsi DPRD, mendapatkan hak, melakukan kewajiban dan memiliki kewenangan sebagaimana anggota DPRD lainnya. Termasuk sudah tidak bisa lagi menggunakan fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk anggota DPRD atas nama anggota DPRD, baik itu berupa kendaraan, keuangan dan lain-lain.


Dalam pandangan penulis, dengan tidak mengurangi segala rasa hormat, bahwa jauh lebih terhormat jika mereka berdua dengan kebesaran jiwa dan lapang dada mempersilahkan para calon penggantinya menduduki kursi DPRD. Dengan cara ini setidak-tidaknya menunjukkan bahwa mereka tokoh yang berjiwa besar, punya integritas di Bulukumba, bahwa biar bukan dengan menjadi anggota DPRD mereka masih tetap menjadi public figure yang senantiasa dihormati oleh masyarakat Bulukumba. Daripada mempertahanakan kursi tersebut yang kemudian direbut secara konstitusional akan mengurangi kredibilitas mereka sebagai tokoh yang menjadi panutan di bumi Panrita Lopi.



[1] Koordinator Komite Pemantau Legislati (Kopel) Sulawesi Wilayah Bulukumba

[2] Abdullah Hehamahua, Penasehat KPK

[3] Pukat FH UGM, Trend Corruption Report 2009

No comments: